Kepuasan Publik yang Menyesatkan!

Lembaga survey publik dalam rangka mengukuhkan eksistensinya dan tentu saja untuk menarik minat pengguna akan keakuratan hasil surveynya secara rutin melakukan survey kepuasan publik. KEPUASAN PUBLIK. Ya, mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Secara demokrasi kita menggantungkan jadi / tidaknya seseorang pada pilihan pemilih maka kepuasan publik adalah ukuran yang cukup bagus tentang popularitas pemerintahan seseorang.

putinTidaklah penting data pengukuran kinerja yang sebenarnya. Balanced Scorecard dan banyak lagi teknik penilaian kinerja yang bersifat objektif mengukur capaian dibandingkan masa lalu atau kawasan lainnya atau negara lainnya tidaklah penting. Nah! Inilah ukuran kepemimpinan publik di Indonesia. Tidak penting pembenci akan selalu tidak puas, yang terkurangi kepentingannya akan selalu tidak puas. Pencinta akan selalu puas dan memilih kembali. Kebiasaan mengukur kinerja melalui survey kepuasan publik adalah nonsense dari sisi objektivitas prestasi karena ya itu sebenarnya cuman kinerja memuaskan publik saja dan bukan kinerja dalam pengertian performance sesungguhnya dari suatu kepemimpinan.

Ngopi dan Ngudud lebih jelas puasnya, bisa diukur menurut kadar nikotin dan kaffein yang mencapai level asoy-nmya. *_* Btw, kinerja PUTIN di Rusia sana sungguh luar biaso! Bahkan Rusia kini mulai tampil kembali menjadi beruang merah nya dunia persilatan. RRC tetap seperti biasa, juragannya produksi dunia.

Opsi Rawat BPJS yang Aneh…!

Menurut saya sih aneh. Saya sudah menderita karpal sindrom cukup lama, dan memang saya cuekkin saja karena yang saya baca di internet itu bisanya disuntik “sesuatu” ke kanalnya agar jepitan ligamen terhadap syarafnya bisa mengendur. Kalau 3 kali injeksi tidak mempan baru dilakukan operasi melepaskan jepitan pada syaraf yang membuat tangan cepat lelah dan kesemutan molo.

Nah, berhubung ada BPJS oke-lah saya periksakan barangkali ada perkembangan baru disetrum atau apalah pakai teknik orthopedi atau fisioterapi bisa menyembuhkan. Di RS, dokter memberi dua opsi:

  1. Rawat Inap dua hari, dengan biaya ditanggung BPJS sepenuhnya. Yang akan dilakukan adalah cek, ronsen dan sebagainya yang intinya adalah akan diinjeksi karpalnya.
  2. Bayar sendiri 500ribu, gak perlu rawat inap. Langsung diinjeksi dan beres.

WHAT…! Kenapa tidak diinjeksi langsung saja dan biayanya dibayar BPJS, toh saya bayar iuran terus juga kok. Kalau ditotal seumur hidup saya ke depan mungkin jumlah iuran bisa melebihi apa yang akan dibayarkan BPJS untuk kesehatan saya. Tapi tak apa, enak juga seperti menabung sambil bantu yang lain kalau total pembayaran untuk saya lebih kecil dari total pembayaran saya. Kalau sebaliknya… untunglah aku… hihihihi

WHAT…! Bukannya opsi pertama itu memberatkan BPJS secara tidak perlu? Ataukah memang prosedurnya demikian? Entahlah, yang jelas dalam minggu ini mau komplen ke BPJS soal opsi yang aneh ini. Injeksi doang tanpa rawat inap juga menghemat duit BPJS. Saya pun tak suka rawat inap untuk urusan yang tidak emergency ini. Jelas opsi kedua menunjukkan tidak ada “emergency” atau keperluan untuk rawat inap. Jika pun harus rawat inap yo wess, rawat inap tapi tetap malem pulang ke rumah. Home Sweet Home lah… Apa enaknya nginep di Rumah Sakit.

Yo wess. Barangkali ada orang BPJS baca ini jadi aku ndak perlu mendatangi kantor BPJS buat komplem doank…

09 Oktober 2015:

Akhirnya jelas sudah dugaanku terbukti. Sebenarnya rawat inap adalah “akal2an” untuk mengakali rule BPJS. Karena biaya untuk rawat jalan setiap pasien terbatas dan RS tidak diijinkan untuk cost sharing dengan pasien rawat jalan. Seluruhnya harus menjadi tanggungan BPJS, beda dengan rawat inap yang memungkinkan cost sharing dengan pasien. Misalkan BPJS kelas ekonomi tapi kamar naek ke kelas satu maka selisihnya bisa ditanggung pasien. Hmmm… Lha piye iki.

Injeksi hydrocortisone biaya Rp 495ribu tidak mungkin ditanggung BPJS karena katanya budget rawat jalan cuman Rp 160ribu per kunjungan. Makanya musti diarahkan menjadi rawat inap agar biaya bisa ditanggung BPJS. Lha piye iki jal. Carpal Syndrome disuruh nginep 2 hari di RS mo ngapain coba… bete deh…

Anggaran Pendidikan 20% APBN

Jika Anggaran Pendidikan seperti dimaksudkan konstitusi diartikan sebagai pelaksananya anggaran untuk Kementerian Pendidikan Nasional maka jelas itu pemaknaan yang sempit tentang pendidikan. Bagaimana dengan pembangunan budaya literasi masyarakat? Bukannya lebih baik jika tiap desa / kelurahan didirikan suatu perpustakaan yang representatif bagi semua usia?

Mengingat tidak semua buku adalah bagus maka perlu suatu Dewan Pengadaan Buku Nasional yang menentukan buku-buku apa saja yang harus diadakan dalam jumlah berapa untuk daerah mana saja. Hmmmm…. dunia penerbitan pun bergairah!

Semoga OmJoko dalam kesibukannya mengurus “Wealth of Nation” dapat segera beriringan dengan membangun suatu “Intelligent of Nation”.

Ilusi Keterwakilan

Menurut C.F. Strong, ada dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan, yaitu: (1)the supremacy of the central parliament (adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat); (2)the absence of subsidiary souvereign bodies (tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat). Pada kenyataannya negara kesatuan dewasa ini semakin memberikan porsi otonomi yang semakin besar kepada pemerintahan daerah. Dalam negara kesatuan, pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara. Menurut Van der Pot, konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah pemerintah pusat harus tunduk kepada pemerintah pusat.

Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas secara pemilihan nama pun mengacu kepada bentuk negara kesatuan, negara yang bersusunan tunggal. Dalam berbagai peraturan perundangan, meski memberi porsi otonomi yang semakin besar kepada pemerintah daerah namun tetap tunduk pada pemerintah pusat. Bahkan pemerintah pusat memiliki kewenangan membatalkan peraturan daerah yang dipandang tidak sesuai dengan konstitusi atau undang-undang yang berlaku. Parlemen pusat memiliki kewenangan yang sangat besar meski tentu saja tidak sebesar negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Anggota parlemen dipilih rakyat “secara langsung” dalam pemilu, demikian juga presiden. Keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama diajukan oleh partai politik peserta pemilu.

Jika kita cermati lebih dalam maka partai politik-lah yang sesungguhnya memegang kedaulatan secara terselubung. Partai politik secara struktural bukanlah lembaga negara tetapi partai politik-lah yang menetapkan kandidat-kandidat pejabat negara. Rakyat memiliki kebebasan memilih anggota parlemen yang mewakili dirinya dan juga memilih presiden, selama pilihan itu adalah nama-nama yang diajukan oleh partai politik.

Kembali ke ruang lingkup pembahasan adalah perihal independensi anggota parlemen mengingat pengajuan nama-nama merupakan kewenangan mutlak partai politik peserta pemilu. Namun pertama-tama saya harus memproblematisasi terminologi visi dan misi serta fungsi anggota parlemen pada dasarnya juga suatu ilusi. Karena pengajuan nama adalah kewenangan partai politik maka jelas partai politik secara normatif tidak akan mengijinkan nama yang memiliki visi serta misi yang tidak sejalan dengan garis partai. Para politisi yang berminat maju dalam pemilihan umum harus menyesuaikan diri dengan garis partai yang dipilihnya sebagai kendaraan politik. Harus diingat bahwa “kendaraan politik” bukanlah kendaraan yang bebas nilai. Kendaraan politik itu sendiri telah memiliki visi dan misinya yang harus diterima oleh setiap anggotanya ataupun setiap politisi yang ingin mengendarainya menuju keinginannya menjabat suatu jabatan negara.

Secara normatif, setiap anggota parlemen adalah independen dalam menentukan sikapnya sendiri di parlemen. Tetapi sekali lagi, ini hanya bersifat normatif. Karena kita sama mengetahui bagaimana kesudahan politisi yang memilih sikap yang berbeda dengan sikap partainya. Mereka yang berbeda pendapat maka bisa dipastikan jika tidak diganti antar waktu, karir politiknya menjadi mandek karena tidak diberikan peranan signifikan lagi bahkan bisa dipecat begitu saja seperti yang terbaru terjadi pada tiga anggota Partai Golkar yang memilih untuk mendukung Capres Jokowi alih-alih mengikuti sikap partai mendukung Capres Prabowo. Meski tentu saja karena pilihannya memenangkan kontestasi kepresidenan maka justru karir politik yang bersangkutan makin berkibar melalui jalur eksekutif.

Partai <—> Anggota Parlemen  <—- konstituen

Rakyat adalah pemilih-penderita! Sekali memberikan suaranya maka rakyat tidak memiliki saluran kontrol formal terhadap pilihannya. Tetapi partai yang menetapkan kandidat memiliki kekuasaan formal mengontrol anggota parlemen yang diajukannya kepada rakyat dalam pemilu. Dan partai di Indonesia pada dasarnya adalah sebentuk kristalisasi oligharki (pemerintahan oleh hartawan) atau bersifat feodalistik yaitu kekuasaan nyata dipegang oleh segelintir pimpinannya. Dengan demikian, pada hakikatnya pemerintahan Indonesia adalah berbentuk oligharki.

Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa selain khayalan untuk tidak memilih yang bersangkutan lagi pada pemilu berikutnya jika abai janji. Tetapi secara konstelasi politik, tetap saja pemegang kekuasaan adalah partai yang tidak begitu penting person pejabat anggota parlemennya. Karena pada kenyataannya, anggota parlemen adalah sebentuk angka untuk posisi tawar para pimpinannya terhadap pimpinan partai lainnya dalam pengambilan keputusan kenegaraan. Anggota parlemen sudah jelas tidak memiliki bentuk pertanggungjawaban apapun juga terhadap konstituennya terlebih sistem proporsional membuat kita tidak bisa menetapkan siapa mewakili siapa saja. Dengan demikian jelas bahwa memang partai-lah penentu sepak terjang anggota parlemen dan konstituen hanya pemanis demokrasi belaka.

Akhir kata: CMIIW,

Penyiaran Publik

Banyak kawan2 yang cerdas berkeluh kesah tentang penyiaran publik khususnya siaran televisi yang sarat pembodohan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuliskan status di medsos. Pemikiran2 cerdas bertebaran di antara sampah-sampah informasi. Pada intinya dapat disimpulkan banyak pendapat yang menyatakan penyiaran publik tidak mencerdaskan kehidupan bangsa justru membodohkan bangsa.

Maka dari itu sebagai awalan antipartai membuat kategori baru yang akan terus dikembangkan menjadi gerakan perubahan rule tentang “penyiaran publik” agar berguna dalam mencapai misi berbangsa dan bernegara “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Jika ada pendapat2 tentang cita ideal penyiaran publik jangan ragu menghubungi Juru Ketik Demokrasi Tanpa Partai. Kita inisiasi bersama-sama. Penyiaran publik terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para politisi pembentuk undang-undang yang kesibukan utamanya adalah tentang pelahapan kekuasaan semata!

Jangan Pernah Membubarkan DPR RI

Jangan pernah Presiden membuat kebijakan membubarkan DPR RI meski putusannya bau busuk, mendegradasi keumuman dari suatu kepentingan umum menjadi sekadar mayoritas. Keumuman disamakan dengan kemayoritasan. Musyawarah mufakat diturunkan derajatnya menjadi kuasa menang-menangan! Karena pembubaran DPR oleh Presiden adalah menciderai prinsip dari demokrasi itu sendiri.

Masih ada jalan memutar tanpa perlu menciderai demokrasi dan hukum. Tidak menggeser demokrasi menjadi machstaat semata. Beberapa alternatif yang teridentifikasi saat ini:

1>Presiden bisa mengajukan pembubaran partai politik ke MK, jika partainya telah dibubarkan maka otomatis keanggotaan di DPR dihapuskan.

2>Rakyat mengajukan JR UU MK ttg hak mengajukan pembubaran partai politik agar tidak hanya Pemerintah yang bisa,  jika dikabulkan maka semua orang bisa mengajukan pembubaran parpol,

3>Presiden menerbitkan PERPPU ttg pembubaran partai politik, parpolnya yang dibubarkan dan bukan DPR langsung. Bisa diatur suatu pemilu ulang (pakai sistem tanpa partai dunk), jadi PERPPU diajukan utk disetujui DPR oleh DPR yang baru lagi bukan DPR yang isinya kamfret2 itu… Harus dalam suatu gerakan kilat!

4>KPK dan Kejaksaan (plus Kepolisian) bisa membantu secara eceran atau grosiran dengan menangkap mereka atas tuduhan2 korupsi atau yang jelas2 kemarin adalah PENYALAHGUNAAN LAMBANG NEGARA.

5>ALTERNATIF LAINNYA…

Cekidot…!

Tentang Memenggal Malink Korupsi

Derivat dan atau Penjelasan Lanjut DTP-001:

Pemberantasan Pencurian Uang Negara

Pencurian uang negara atau biasa dikenal dengan istilah yang lebih halusnya korupsi kabarnya telah diklasifikasi sebagai extraordinary crime yaitu kejahatan luar biasa. Karena terjadi secara Terstruktur Sistematis dan Masif alias TSM. Mungkin capres Prabowo lebih bisa menjelaskan maksud daripada istilah TSM. *_* BTW, tulisan ini dibuat karena kemarin ada keinginan mendaftar lowongan kerja sebagai Komisioner KPK. Tapi gak jadi ah… nulis ini saja hasil pemikiran akibat dari membacai undang-undang. Juga dapat dikatakan sebagai derivat atau penjelasan lebih lanjut terhadap beberapa poin dalam counter legal draft Konstitusi DTP.

Nah, karena extra ordinary maka pemberantasannya pun harusnya berupa tindakan-tindakan yang bersifat extra ordinary juga. Tetapi faktanya tindakan yang disebut extra ordinary itu faktanya hanya berupa pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi saja. Tidak lebih tidak kurang. Hanya karena ketidakpercayaan pada aparatur penegakan hukum yang ada yaitu kejaksaan dan kepolisian maka berdirilah apa yang disebut dengan KPK.

Oleh karena itu berangkat dari pengamatan dan pembacaan hukum normatif berikut ini diuraikan pemikiran Gerakan Demokrasi Tanpa Partai tentang apa seharusnya tindakan extra ordinary yang dapat dilaksanakan satu per satu atau langsung seluruhnya secara komprehensif yaitu antara lain sebagai berikut:

  1. Nilai Korupsi Satu Milyar adalah Prioritas dan bukan Pembatasan Kewenangan KPK

UU tentang KPK yang berlaku saat ini bersifat membatasi kewenangan KPK hanya mengusut kasus yang merugikan keuangan negara sedikitnya Rp 1 Milyar. Pembatasan ini termasuk salah satu penghalang KPK menegakkan pemberantasan korupsi secara lebih masif. Juga pada dasarnya kurang jelas kerugian yang dimaksudkan adalah jika terjadi dalam satu kejadian pokok atau kumulatif kerugian yang diakibatkan oleh tindakan korupsi satu orang sepanjang karir korupsinya. Jika dimaknai pembatasan maka juga bertentangan dengan asas zero tolerance.

Tindakan extra ordinary terkait hal ini adalah angka kerugian negara dimaksudkan hanya bersifat prioritas dan bukan pembatasan. KPK memprioritaskan pengusutan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sedikitnya Rp 1 Milyar tetapi tidak menutup kewenangannya untuk mengusut korupsi yang merugikan keuangan negara di bawah nilai tersebut.

  1. Penjebakan dan Penghargaan bagi Pengungkap Korupsi

Mentalitet aparatur dan penyelenggara negara harus bebas dari keinginan korupsi. Mengingat menemukan setidaknya dua bukti korupsi bukan perkara sederhana maka penjebakan dibenarkan secara hukum sebagai suatu bukti operasi tangkap tangan selain akan memudahkan pemberantasan korupsi juga menciptakan suatu kewaspadaan pada aparatur agar tidak coba-coba menerima suap dari siapapun juga karena sangat mungkin itu adalah penjebakan dan bukan penyuapan sesungguhnya. Penjebakan harus dipandang sebagai bukti di pengadilan.

Menurut kisah nyata para pengusaha banyak di antara mereka yang diminta kick back sebelum maupun sesudah suatu proyek dimenangkan dan dikerjakan. Nah, KPK harus harus memberi peluang kerjasama penjebakan kepada para pengusaha dimaksudkan. Secara hukum kepada penjebak harus diberikan jaminan keamanan dan dibebaskan dari segala tuduhan kerjasama korupsi dalam perkara dimaksudkan. Bahkan perlu diberikan penghargaan misalkan sebesar 20% dari nilai suap yang hendak dijebakkan atau sebanyak-banyaknya Rp 100 juta. Dengan demikian jelas ada insentif bagi pelapor dan penjebak bahkan perlu dibuat perusahaan-perusahaan yang memang bertujuan menjebak. Maka diharapkan seluruh aparatur negara menjadi berpikir ribuan kali untuk melakukan transaksi tercela (maling uang negara).

  1. Hukuman Isolasi Seumur Hidup (Quasi-Death Penal)

Karena Gerakan Demokrasi Tanpa Partai berkehendak menghapuskan hukuman mati yang bersifat pencabutan nyawa oleh sesama manusia biasa. DTP hanya mentolerir pencabutan nyawa oleh Tuhan Pencipta Manusia saja. Sebagai pengganti hukuman mati adalah isolasi penuh seumur hidup. Tentang mekanisme dan sebagainya akan diuraikan dalam artikel lain.

Hukuman mati dalam UU Pemberantasan Korupsi tidak disebutkan dengan tegas dan jelas kriterianya. Maka DTP mengusulkan suatu kriteria yang jelas dan itu hanya menyangkut besaran besaran kerugian negara yaitu jika merugikan keuangan negara sebesar Rp 1 milyar dalam satu kejadian (pokok perkara) dan sebesar Rp 250 juta dalam satu pokok perkara jika pelakunya adalah aparatur penegak hukum sendiri (hakim, jaksa, polisi, advokat). Karena angka dimaksud sudah keterlaluan dan didasari keserakahan yang luar biasa.

  1. Pembuktian Terbalik Bersyarat

Pembuktian terbalik pada dasarnya bertentangan dengan prinsip keadilan secara umum. Tetapi prinsip keadilan secara umum ini dapat diabaikan dalam hal seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang dibuktikan tidak melalui mekanisme penjebakan. Jika seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana maka kepadanya dibebankan asas pembuktian terbalik terhadap kekayaan lainnya. Jika tidak bisa membuktikan kekayaannya yang lain maka dianggap juga sebagai hasil kejahatan dan harus disita oleh dan untuk negara.

  1. Penggantian Kerugian Negara Sepenuhnya dan Penghapusan Hukuman Subsider

Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi harus menjadi tanggungan terpidana seluruhnya. Segala bentuk hukuman juga tidak bisa diganti dengan subsider dengan uang. Jika kekayaan yang ada kurang maka menjadi piutang negara pada yang bersangkutan dan dapat disita dari harta terpidana baik yang sudah ada maupun yang akan ada.

  1. Kebijakan Rumah Kaca

Seluruh penyelenggara negara dan pejabat-pejabat tertentu lainnya diwajibkan untuk membuat pembukuan hidupnya dan keluarga intinya. BPK RI dapat menyediakan sistemnya dan juga menugaskan satu atau lebih pegawainya untuk melaksanakan fungsi pembukuan dimaksudkan. Sistem dilaksanakan secara online sehingga dapat langsung diaudit setiap waktu. Juga resume laporan keuangannya dapat diakses masyarakat luas secara real time.

Melanggar asas privacy…? Kalau mau memberantas korupsi ya demikianlah. Kebijakan ini bukan soal melanggar privacy tetapi  tentang pilihan. Pilihan ada di tangan penyelenggara negara sendiri. Jika tidak bersedia hidup dalam rumah kaca berhentilah. Pensiun dini! Agar anggota masyarakat yang berdedikasi dan tidak menyimpan niat menjadi maling dapat menggantikan anda. Ini tentang pilihan bebas!

  1. Perbaikan Mekanisme Pemilihan Komisioner

Tentang hal ini sudah jelas bahwa pansus hanya beranggotakan orang yang jumlahnya terbatas. Presiden RI pun dapat intervensi diam-diam karena dia yang memilih dan mengangkatnya. DPR pun hanya satu komisi saja. Jumlah penyaring harus diperbanyak dan sebagainya. Jumlah pemilih pun harus seluruh anggota lembaga perwakilan seluruh tingkatan. Tentang hal ini akan dijelaskan dalam uraian soal lain lagi yaitu tentang mekanisme pemilihan pejabat negara yang dirancang DTP dan telah dituangkan dalam counter legal draft.

##semoga manfaat##

Jangan Lupa: subeye dan mas prabs juga terlibat!

image

DTP tidak ambil pusing soal UU MD3 yang menyunat tradisi partai pemenang pemilu mendapat kursi Ketua DPR RI. Itu urusan kalian sendiri. Tetapi soal menambahkan barrier alias penghalang bagi kelancaran pemberantasan maling adalah urusan rakyat seluruhnya.

Tiba2 segala serapah mengarah pada DPR khususnya yang dari koalisi semut merah yang berbaris di dinding ngantri gula. Seolah terlupa, prekkkkddisen juga terlibat! Ingat UU adalah produk persetubuhan bersama DPR RI dan prekdisen. Tak bisa mewujud tanpa sekongkol keduanya.

Lembaga kepredisenan jelas bermuara hanya pada satu person pribadi saja yaitu subeye. Apa maunya dia yg sudah hampir tetgusur ini? Turut melindungi makink?

Juga mas prabs… Jelas saat ini yg di sana semua takut kena lempar hape. Blethaq…! Tanpa restunya mustahil angka2 bargain di senayan menetapkan UU Perlindungan Malink ini (MD3). Ya mereka yg di senayan itu hanya angka yg menunjukkan level bargaun alias tawar-menawar tetuanya yg mungkin asyik ongkang kaki di rumah.

Mengapa pemilihnya masih banyak juga? Mahs benar mas prabs dgn sabdanya: (47%) rakyat indonesia terkadang naif dan lugu. Lutchu2 guoblog. Ini bukan kata saya lho… Karena menurut saya umumnya kena gedibal blekempen dan citra gombal mukiyo saja. Jiwanya masih beres.

Jangan lupa: terus lawan sebisa2nya. Sayangnya perlawanan sporadis seringkali hanya seperti kenthut yang aromanya tidsk mematikan. Hanya mengganggu dan segera berlalu seiring abisnya gas H2SO4 terhidu hidung2 para benalu.

Satu kata saja lagi…: LAWAN!

Tentang Pilpres 2014 Satu Putaran

Demokrasi Tanpa Partai menyetujui kritik Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra perihal putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden jika hanya diikuti oleh dua pasangan calon maka cukup hanya menggunakan syarat kemenangan sederhana dan menganulir syarat persebaran kemenangan.

Selain putusan itu berarti MK telah melampaui kewenangannya dengan membentuk suatu norma baru malahan putusan itu juga berarti menganulir norma yang diatur dalam konstitusi. Bagaimana bisa MK mengatasi dan mengabaikan kewenangan MPR dalam menetapkan norma konstitusi…?

Norma dua syarat kemenangan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bukankah menunjukkan bahwa MPR RI masih belum cermat dalam merumuskan norma konstitusi? Kualitas mereka sangat layak dipertanyakan? Bagaimana bisa jabatan perumus norma konstitusi dipegang oleh mereka yang tidak cermat? Grusa grusu dan tidak memikirkan tentang pengaturan bagaimana jika hanya ada dua kandidat? Juga bagaimana jika hanya muncul satu kandidat saja? Kurang cermat dalam menginventarisasi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Selain itu dalil kekosongan hukum dan kekhawatiran pemilihan kedua kalinya jika tidak ada dari dua kandidat yang memenuhi syarat persebaran adalah sesuatu yang mengada-ada. Karena jelas norma dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat 4 menyatakan “… dan pasangan yang memperoleh SUARA RAKYAT TERBANYAK dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Nah, jika memang harus diadakan pemilihan kedua maka syarat persebaran telah dihapuskan oleh ayat ini. Jadi dimana ada kekosongan hukum?

Kemudian apa yang bisa dilakukan? Ya tidak ada. Namanya juga Judicial Dictactorship, karena keputusan MK dinyatakan final dan mengikat. Kalau ada salah putusan bahkan melanggar UUD 1945 ini apa yang bisa dilakukan? Hanya MPR RI yang mungkin memiliki kewenangan secara hukum untuk melakukan langkah terobosan mengatasi permasalahan ini. Bagaimana caranya? MPR RI lah yang harus memikirkan solusinya. Kalau tidak bisa mikir ya sini kontrak saya untuk memikirkan solusinya. 😛