Rantai Oligharki
PERMASALAHAN PARTAI POLITIK
Demokrasi sudah tentu menempatkan dan memposisikan Parpol sebagai agen of change (penentu) kualitas kehidupan berbangsa bernegara. Demokrasi yang sehat dan kuat sudah tentu harus ditopang oleh Parpol yang sehat dan kuat. Kondisi saat ini Parpol belumlah sehat dan kuat sehingga menimbulkan permasalahan Disorientasi Parpol dalam peran dan fungsinya berbangsa bernegara.
Berikut ini beberapa penyebabnya :
1). EKONOMI POLITIK
Indonesia adalah negara besar secara wilayah dengan luas lautan, panjang bibir pantai dan luas daratan, serta kaya secara kandungan “perut” bumi dengan berbagai material tambang dan migas, belum lagi besarnya jumlah penduduk yang membayar pajak ke negara, itu semua semakin menunjukan kebesaran potensi negara ini. Dengan Anugerah besar tersebut sudah tentu amat banyak kepentingan-kepentingan pihak lain yang ingin mengusai pengelolaan Negara Indonesia ini selain untuk kepentingan Negara Proklamasi.
Dari kepentingan lain tersebut, munculah istilah Ekonomi Politik yaitu pola pikir (mindset) yang menempatkan Politik (kekuasaan) sebagai sarana memperoleh profit (keuntungan) dari kekayaan pengelolaan Negara untuk pribadi/kelompok. Praktik ini disebut Korupsi Politik yaitu menggunakan Politik (kekuasaan) untuk membuat kebijakan atas nama Negara tetapi hasilnya hanya demi kepentingan pribadi/kelompok.
Praktik berpolitik Negara dilakukan seperti “pasar”, yang mempertemukan “supply” (elit politik pembuat kebijakan Negara) dengan “demand” (kepentingan pribadi/kelompok pemburu rente/profit). Parpol sebagai corong rekrutmen kepemimpinan Negara menjadi strategis, dan jabatan elit Parpol menjadi bidikan para pemburu rente/profit.
2). PARTAI POLITIK PADAT MODAL
Secara luas dan bentuk wilayah, Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dengan jumlah penduduk yang besar. Maka sudah pasti membutuhkan Parpol nasional dengan kapasitas besar, yaitu memiliki kantor di seluruh wilayah Indonesia sampai ke tingkat desa, sebagai pusat kegiatan kerja politik dari para kader dalam menjalankan fungsi-fungsi Parpol yaitu rekrutmen, kaderisasi, sosialisasi dan pendidikan politik untuk rakyat. Hal ini memiliki konsekwensi yaitu pengelolaan Parpol secara biaya pokok dan operasional menjadi sangat besar. Singkatnya, untuk hidup Parpol harus padat modal.
Pembiayaan Parpol dari bantuan negara yang berlaku saat ini yaitu Rp.110 per suara ditambah iuran anggota secara sukarela adalah diluar logika untuk kecukupan. Faktanya jelas, bahwa saat ini pemimpin-pemimpin Parpol nasional adalah orang-orang yang memiliki kekayaan materi alias kalangan pengusaha (pemodal) atau orang-orang yang dekat dengan sumber-sumber kekuasaan (pejabat). Itulah yang terjadi baik pada kepemimpinan Parpol tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya kepemimpinan Parpol tidak berbeda dengan kepemimpinan perusahaan alias korporasi, dampaknya fatal yaitu orientasi idealisme (nasionalis) berubah menjadi orientasi pragmatisme (profit).
Efek domino dari budaya perusahaan alias korporasi dalam kepemimpinan Parpol adalah sistem rekrutmen yang tidak berkualitas. Pengurus utama organisasi Parpol di rekrut berdasarkan besarnya “saham” atau besarnya “setoran”. Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela dari seorang kader terhadap organisasi Parpol tidak dianggap/tidak dilihat sebagai kriteria menjadi pengurus utama. Faktanya jelas, bahwa saat ini tidak ada Parpol di Indonesia yang dipimpin oleh riil seorang aktivis, tokoh pergerakan dengan idealisme, militansi dan visi negarawannya hanya karena mereka tidak memiliki “gizi” atau “saham”.
Efek domino selanjutnya dari kepemimpinan korporasi dan sistem rekrutmen berdasarkan “saham” dan “setoran”, adalah matinya demokratisasi dalam organisasi Parpol. Perbedaan pendapat tentang ide/gagasan pengelolaan organisasi Parpol lebih baik, direnggut oleh kepemimpinan yang bersifat oligarki dan otoriter. Tidak ada ruang demokrasi untuk berdebat dan berargumen berdasarkan pengetahuan dan keilmuan, yang muncul adalah pemaksaan kehendak/kepentingan dari kepemimpinan yang berorientasi profit semata. Metode yang digunakan adalah metode Stick and Carrots, yaitu Stick berupa ancaman, intimidasi sampai pemecatan, dan Carrots berupa janji/iming-iming akan jabatan, materi dan sebagainya.
3). KARTEL POLITIK
Perpaduan “Ekonomi Politik” dengan “Parpol Padat Modal” membentuk yang namanya Kartel Politik yaitu koalisi (persekutuan) Parpol-Parpol kepemimpinan korporasi yang bersifat oligarki dan otoriter untuk meningkatkan kekuatan nilai tawar terhadap Pemerintah dengan tujuan turut menentukan arah kebijakan nasional agar dapat mengambil untung (profit oriented) dari kebijakan tersebut. Berikut ini bagannya ada pada roto ilustrasi berita.
http://kangagun.com/sites/default/files/styles/large/public/kartel2.jpg?itok=AXx1PR52
*Negara Berdasarkan Hukum. *Undang-Undang (UU) adalah Hukum. *Kebijakan harus Berdasarkan UU. *UU Dibuat Atas Persetujuan Bersama Pemerintah dan DPR RI.
KESIMPULAN : PARPOL SEBAGAI CORONG REKRUTMEN KEPEMIMPINAN NEGARA DAN POROS PEMIKIRAN KEBIJAKAN NEGARA DIBAJAK OLEH PEMODAL DAN KARTEL POLITIK.
Nah, pada bagian solusi maka penulisnya masih mengkhayalkan parTAI harus begini dan begitu yang sama sekali berada di luar kendalinya. Saya tidak tahu apakah penulisnya pernah menjadi pengurus suatu parTAI. Saya pernah duduk di DPP ParTAI Demokera. Hampir-hampir musykil harapan penulisnya. Kalau anda ingin tahu solusinya menurut penulisnya silakan dibuka saja di: “Negara Dalam Negara oleh Agun Gunandjar Sudarsa“.