‎20% Profit Perusahaan Besar adalah Hak Pekerja…!

UMR adalah upaya perlindungan terhadap buruh / pekerja atas upah minimum yang menjadi haknya atas sejumlah kerja / waktu yang diberikannya untuk aktivitas perusahaan. Gerakan sosialist / marxist / kiri dalam sejarahnya selalu memperjuangkan kepemilikan faktor produksi oleh pekerja / buruh melalui tegaknya diktaktur proletariat. Sebuah konsep yang telah terbukti tidak bisa berjalan karena tidak sesuai dengan dorongan jiwa dan talenta manusia yang beragam.

Adalah fakta, hanya kelas/jiwa entrepreneur yang akhirnya memiliki kemampuan untuk mengorganisasi segala sumber daya yang diperlukan untuk berjalannya roda sebuah usaha. Kelas buruh secara umum tidak memiliki kemampuan untuk itu. Oleh karena itu konsep kepemilikan / manajemen perusahaan oleh buruh / karyawan adalah tidak sesuai dengan realitas keragaman manusia.

Mari kita letakkan masalah pada tempatnya. Inti dari semua perjuangan itu adalah “agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang2 kaya saja”. Maka sudahlah jelas bahwa negara harus mengaturnya sedemikian rupa sehingga segala masalah berada pada tempatnya.

Nah, upah adalah hak setiap yang bekerja. UMR ditetapkan adalah dalam rangka memberikan perlindungan agar pekerja/buruh tidak dieksploitasi karena terpaksa harus bekerja. Jelas ada konflik kepentingan antara manajemen/pemilik dan pekerja. Pemilik / manajemen ingin upah semurah2nya untuk cost terkecil sehingga profit membesar. Dan buruh / pekerja tidak punya urusan terhadap profit. Buruh hanya peduli pada pemenuhan hak atas upah saat ini dan disini.

Tetapi dengan UMR maka pasar tenaga kerja menjadi kaku. Perusahaan2 tidak lagi bersaing dalam mencari tenaga kerja dengan tingkat upah. Terjadi semacam “kartel tenaga kerja” yang dibentuk oleh negara. Tak ada persaingan di sisi perusahaan dalam memenuhi merekrut tenaga kerjanya.
Nah, akhirnya bagian atas hasil kerja menjadi milik pengusaha sepenuhnya. Dengan demikian buruh/pekerja ditempatkan dalam paradgma sebagai faktor produksi semata. Memanusiakan manusia adalah tuntutan rasa keadilan yang harus dipenuhi. Dengan demikian harus ada bagian dari hasil produksi untuk buruh/pekerja karena mereka bukan sekadar skrup industri.

1>Memanusiakan buruh karena bagian atas hasil produksi melepaskan buruh dari menjadi sekadar alat produksi yang tidak memiliki hak atas hasil produksi.

2>Memanusiakan pengusaha agar tidak lagi memandang buruh sebagai alat/faktor produksi semata.

3>Agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

4>Pemerataannya kekayaan secara berkeadilan justru semakin meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan lebih lanjut.

5>Industri pada akhirnya tidak lagi berbasis pada kerakusan dan menjadi alat pencucian uang karena dengan adanya 20% menjadi hak pekerja (non direksi dan komisaris) maka akan mendorong munculnya transparansi. Juga muncul dorongan untuk efisiensi dari seluruh sumber daya industri.

Angka 20% nett profit sebagai bagian buruh yang dibagikan secara sama rata adalah angka yang cukup untuk mencapai tujuan tersebut di atas dan masih menjaga semangat kewiraswastaan pengusaha.

Jaminan Kesehatan dan dana pensiun? Pada dasarnya adalah menjadi tugas negara untuk memberikan jaminan sosial dan kesehatan serta pensiun bagi seluruh warganya. Yang SALAH SATU sumber uangnya adalah dari pajak perusahaan, pajak penghasilan perusahaan dan pekerja serta pungutan sah lainnya. Jaminan ini adalah atas warga negara dan bukan hanya atas pekerja swasta atau PNS saja. Tetapi jaminan bagi setiap warga negara. Dengan demikian jaminan dan fasilitas dari perusahaan seharusnya adalah dalam kerangka persaingan antar perusahaan untuk menarik SDM yang berkualitas. Bukan kewajiban perusahaan tetapi KEWAJIBAN NEGARA…! Tentu saja aspek2 kesejahteraan karyawan dapat menjadi alat perusahaan dalam persaingan tenaga kerja.

Dengan demikian UMR perlu dihapuskan dan diganti konsep bagian pekerja atas laba. Pemerintah cukup mengeluarkan standar hidup minimum. Tingkat upah nyata suatu perusahaan harus menjadi negosiasi pekerja atau serikat pekerja dengan manajemen. *)standar hidup minimum ini juga bisa digunakan sebagai standar pengadilan untuk menilai apakah suatu kejahatan seperti pencurian adalah akibat dari keterpaksaan karena kemiskinan atau karena motif lainnya.

Judicial Review Pergub Jatim No. 55/2012

Berikut ini Permohonan Judicial Review terhadap Pergub Jatim No. 55/2012. Bagi kawan2 yang senasib sepenanggungan, seia sekato terhadap kebhinekaan bangsa. Singsingkan nyali, unjukkan keberanian berkata TIDAK pada DISKRIMINASI.

Silakan diajukan (ganti dulu dengan nama anda, alamat anda, tanggal dan nama kab/kota) KEMUDIAN ajukan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten / Kota tempat tinggal Anda.

Jika nanti diminta biaya perkara yang besar oleh MA kita bisa minta Surat Keterangan Tidak Mampu dari Desa / Kelurahan sehingga bisa dibebaskan dari membayar biaya perkara. Biar biaya ditanggung negara. Karena sesungguhnya ini urusan negara…!

Berikut file-nya dalam format WORD 2007: Jud_Rev_Pergub_Jatim_No_55_2012-publik

Dan ini file yang menjadi lampiran Judicial Review dalam format PDF:

01. PERGUB_55_2012

02 UU1PNPS65_penodaan agama

03 uu39_1999_ttg_HAM

04 UU 32 Tahun 2004

05 uu2011_012_ttg pembentukan uu

06 FATWA-MUI-JATIM-SYIAH-SESAT

Nah, kalo ini tentang apa dan bagaimana Judicial Review ke Mahkamah Agung:

perma2011 ttg Judicial Review

Nah, kalau nanti banyak bisa kita buat FORUM PEMOHON JUDICIAL REVIEW dan kita tidak hanya berhenti di sini. Ke depan, seluruh peraturan di bawah UU yang bertentangan dengan nilai kebhinekaan dan kebangsaan akan kita mohonkan judicial reviewnya.

BIAR di meja Mahkamah Agung banyak permohonan Judicial Review yang sama persis cuman beda nama dan asal pemohon.

Asumsi Pertama Demokrasi Tanpa Partai

1>Kebenaran dan Keadilan yang tidak terorganisasi akan kalah melawan Kejahatan Terorganisasi.

2>Power tends to corrupt, partai dibentuk untuk meraih power maka hampir seluruh partai akan tends to corrupt.

3>Mengorganisasikan “kebenaran dan keadilan” adalah sulit terlebih di saat kejahatan terorganisasi sedemikian kuatnya.

*****

Oleh karena itu, menghapuskan kuasa formal partai adalah pilihan termungkin. Karena kuasa formal inilah yang menyandera semua saja yg berhubungan dengannya. Bukan berarti membubarkan partai karena kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah pilar demokrasi dan kehidupan yang sehat.

*****

Draft Gugatan Melawan Predisen….

Jakarta,       September 2012

Kepada Yth.

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Jl. Merpati Blok D-3 No. 5 Kemayoran, Jakarta Pusat

 

Perihal: GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

 

Dengan hormat,

 

Yang bertanda tangan di bawah ini:

 

Teguh Sugiharto (perorangan) beralamat di Jl. Cikadut No. 132B, RT 03 RW 03, Kelurahan Karang Pamulang, Kecamatan Mandala Jati, Kota Bandung, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT.

 

PENGGUGAT dengan ini hendak mengajukan GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM terhadap:

 

Susilo Bambang Yudhoyono, (Presiden Republik Indonesia) beralamat di Istana Negara, Jl. Veteran No. 16 Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT SATU.

 

Soekarwo, (Gubernur Propinsi Jawa Timur) beralamat Jl. Ahmad Yani No. 242-244 Surabaya, Jawa Timur, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT DUA.

 

Sahal Mahfudz, (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) beralamat di Sekretariat MUI, Jl. Proklamasi No. 51 Menteng, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT TIGA.

 

Abdusshomad Buchori, (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur) beralamat di Sekretariat MUI Jawa Timur Jl. Dharma Husada Pusat No. 5 Surabaya, Jawa Timur, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT EMPAT.

 

Adapun dasar-dasar diajukannya gugatan ini adalah sebagai berikut:

 

DALAM POSITA:

 

  1. Bahwa komunitas Syiah di Indonesia ada sejak lama dan hidup berdampingan dalam harmoni dengan komunitas lainnya. Namun akhir-akhir ini muncul oknum-oknum yang mendakwahkan tentang kesesatan Syiah dan/atau memprovokasi penyerangan terhadap komunitas Syiah di sejumlah tempat. Sehingga terjadi berbagai kejadian penyerangan hingga pada tanggal 29 Desember 2011 terjadi penyerangan dan pengrusakan terhadap rumah warga di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Propinsi Jawa Timur (selanjutnya disebut Penyerangan Syiah Sampang).
  2. Bahwa pasca Penyerangan Syiah Sampang tersebut di posita angka 1, pada hari Sabtu, tanggal 21 Januari 2012 Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur tidak melakukan upaya yang mencukupi untuk meredam dan mengatasi kerusuhan tersebut di angka 1 tetapi justru mengeluarkan Keputusan Fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syiah.
  3. Bahwa Gubernur Jawa Timur tidak melakukan upaya yang mencukupi untuk meredam dan mengatasi kerusuhan tersebut di angka 1 dan tidak melakukan teguran kepada MUI Jawa Timur atas keluarnya fatwa yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tetapi justru pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2012 menetapkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 55  Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur yang memperkuat Keputusan Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syiah. Karena di Peraturan Gubernur dimaksudkan tersebut dalam Pasal 5 angka 2: “Kegiatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan sebagai aliran sesat apabila memenuhi kriteria dan pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk agama Islam dan untuk agama lain dari majelis agama yang bersangkutan.”
  4. Bahwa kemudian terjadi kembali Penyerangan Syiah Sampang  pada hari Minggu, 26 Agustus 2012,  dimana ratusan orang bersenjata tajam mendatangi lokasi pemukiman warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Propinsi Jawa Timur. Massa itu kemudian merusak dan membakar sejumlah rumah warga. Perusakan ini mengakibatkan satu nyawa melayang, puluhan orang luka-luka, 27 rumah terbakar, dan penganut Syiah terusir dari rumah dan kampung halamannya sendiri.
  5. Bahwa walaupun secara formal Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 55 Tahun 2012 dan Keputusan Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 hanya berlaku untuk wilayah Propinsi Jawa Timur namun dampaknya bisa meluas hingga ke wilayah manapun juga.
  6. Bahwa  kejadian-kejadian tersebut di atas mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap ketenangan hidup PENGGUGAT yang juga menganut paham Syiah sebagaimana yang dianut oleh korban Penyerangan Syiah Sampang. Karena ada kemungkinan sewaktu-waktu terjadi penyerangan serupa terhadap PENGGUGAT. Oleh karena itu PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa TERGUGAT DUA telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
  7. Bahwa Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syiah dan Pergub No. 55 Tahun 2012 adalah bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Oleh karena itu kami mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meghukum TERGUGAT DUA untuk  melaksanakan kewajiban hukumnya yang disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1985 yaitu membekukan/membubarkan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur.
  8. Bahwa Pergub No. 55 telah mengatur suatu hal yang tidak diperkenankan oleh konstitusi UUD 1945. Oleh karena itu kami mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa Pergub No. 55 Tahun 2012 batal demi hukum.
  9. Bahwa untuk menjamin masyarakat luas mengetahui kesalahan TERGUGAT DUA maka PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum TERGUGAT DUA untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT.
  10. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan, PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari yang harus dibayar TERGUGAT DUA jika lalai dalam melaksanakan putusan ini.
  11. Bahwa  kejadian-kejadian tersebut di atas mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap ketenangan hidup PENGGUGAT yang juga menganut paham Syiah sebagaimana yang dianut oleh korban Penyerangan Syiah Sampang tersebut di atas. Karena ada kemungkinan sewaktu-waktu terjadi penyerangan serupa terhadap PENGGUGAT. Oleh karena itu PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa TERGUGAT EMPAT telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
  12. Bahwa untuk lebih menjamin kembalinya ketenangan hidup PENGGUGAT maka kami juga mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa Keputusan Fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 batal demi hukum.
  13. Bahwa untuk menjamin masyarakat luas mengetahui kesalahan TERGUGAT EMPAT maka PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum TERGUGAT EMPAT untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT.
  14. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan, PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari yang harus dibayar TERGUGAT EMPAT jika lalai dalam melaksanakan putusan ini.
  15. Bahwa TERGUGAT TIGA selaku Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (tingkat pusat) tidak melakukan upaya-upaya yang cukup untuk membatalkan Keputusan Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012. Karena “Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum (Mariam Darus Badrulzaman)” dan karena Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa: “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Oleh karena itu PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa TERGUGAT TIGA telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang menimbulkan kerugian pada PENGGUGAT.
  16. Bahwa untuk menjamin masyarakat luas mengetahui kesalahan TERGUGAT TIGA maka PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum TERGUGAT TIGA untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT.
  17. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan, PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari yang harus dibayar TERGUGAT TIGA jika lalai dalam melaksanakan putusan ini.
  18. Bahwa menurut UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 16 disebutkan “Pemerintah membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme / Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya.”
  19. Bahwa dalam penjelasan UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 15 disebutkan “Lembaga yang berwenang untuk membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat dan membubarkan Organisasi Kemasyarakatan adalah Pemerintah. Yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam pasal-pasal ini adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I yaitu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Wewenang membekukan dan membubarkan tersebut berada pada: a. Pemerintah Pusat bagi Organisasi kemasyarakatan yang ruang lingkup keberadaannya bersifat nasional;”
  20. Bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tingkat pusat juga bertanggung jawab terhadap keputusan Majelis Ulama Indonesia tingkat Propinsi sebagaimana tersebut di posita angka 11, dan karena MUI tingkat pusat tidak melakukan upaya yang mencukupi untuk membatalkan Keputusan MUI Jawa Timur dimaksudkan maka MUI tingkat pusat turut bertanggung jawab.
  21. Bahwa TERGUGAT SATU selaku Presiden Republik Indonesia telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena tidak membekukan/membubarkan organisasi kemasyarakatan Majelis Ulama Indonesia yang telah melanggar Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan kewajiban hukum pemerintah pusat. Karena “Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum (Mariam Darus Badrulzaman)”.
  22. Bahwa Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan TERGUGAT SATU telah mengakibatkan terjadinya Gangguan Terhadap Ketenangan Hidup pihak PENGGUGAT maka dengan ini PENGGUGAT memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa TERGUGAT SATU telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Kami juga mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menghukum TERGUGAT SATU untuk melaksanakan kewajiban hukumnya yaitu Membekukan/Membubarkan Organisasi Kemasyarakatan Majelis Ulama Indonesia.
  23. Bahwa untuk menjamin masyarakat luas mengetahui kesalahan TERGUGAT SATU maka PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum TERGUGAT SATU untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT.
  24. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan, PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari yang harus dibayar TERGUGAT SATU jika lalai dalam melaksanakan putusan ini.

 

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka PENGGUGAT mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar berkenan untuk memutuskan:

 

DALAM PETITUM:

 

  1. Mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan bahwa TERGUGAT SATU telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
  3. Menghukum TERGUGAT SATU untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT;
  4. Menghukum TERGUGAT SATU untuk melaksanakan kewajiban hukumnya yaitu membekukan/membubarkan organisasi kemasyarakatan Majelis Ulama Indonesia;
  5. Menghukum TERGUGAT SATU untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari jika TERGUGAT SATU lalai melaksanakan isi putusan ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap;
  6. Menyatakan bahwa TERGUGAT DUA telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
  7. Menghukum TERGUGAT DUA untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT;
  8. Menyatakan bahwa Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 batal demi hukum;
  9. Menghukum TERGUGAT DUA untuk melaksanakan kewajiban hukumnya yaitu membekukan/membubarkan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur;
  10. Menghukum TERGUGAT DUA untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari jika TERGUGAT DUA lalai melaksanakan isi putusan ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap;
  11. Menyatakan bahwa TERGUGAT TIGA telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
  12. Menghukum TERGUGAT TIGA untuk memasang iklan permohonan maaf di Surat Kabar Nasional dengan redaksi dan format yang ditentukan oleh PENGGUGAT.
  13. Menghukum TERGUGAT TIGA untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari jika TERGUGAT TIGA lalai melaksanakan isi putusan ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap;
  14. Menyatakan bahwa TERGUGAT EMPAT telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
  15. Menyatakan bahwa Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 batal demi hukum.
  16. Menghukum TERGUGAT EMPAT untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) per hari jika TERGUGAT TIGA lalai melaksanakan isi putusan ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap;
  17. Membebankan biaya perkara ini kepada TERGUGAT SATU, TERGUGAT DUA, TERGUGAT TIGA dan TERGUGAT EMPAT secara tanggung renteng.
  18. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad) meskipun ada perlawanan banding, kasasi, maupun verzet.

 

Apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).

 

Hormat PENGGUGAT,

 

Teguh Sugiharto

Intisari Demokrasi Tanpa Partai

Tuntutan perubahan kian hari kian keras bergulir meski baru berupa wacana-wacana di media massa dari sejumlah tokoh atau ditokohkan juga yang menokohkan dirinya. Dari yang lembut mendayu hingga yang sarkastik terutama di media internet. Dari banyak suara gaduh dapat ditarik benang merah klasifikasi: 1>himbauan moral kepada person dan atau lembaga agar memperbaiki dirinya, 2>tuntutan romantik kembali ke masa lalu, 3>tuntutan tindakan / program pada lembaga atau person agar begini dan begitu.

Sangat sedikit yang mengajukan tuntutan perubahan mendasar sistemik. Maka inilah Demokrasi Tanpa (kuasa formal) Partai memperjuangkan perubahan mendasar terlebih dahulu karena sistem saat ini jelas terbajak dan tergadai. Sistem yang bisa dikatakan suatu kontinuum lebih maju dalam mewujudkan prinsip dasar negara demokrasi yang dapat diintisarikan sebagai berikut ini: [poin2 ini tetaplah versi terlalu menyederhanakan, untuk bisa melihat “gambar besar” berikut kait-mengkait antar komponen sistem bernegara seharusnya tetap harus membacai secara lengkap Buku Demokrasi Tanpa Partai aka Daulat Rakyat Sepenuhnya]:

 

  • Yang urgent dan perlu untuk dihapuskan adalah kuasa formal partai dalam menentukan kandidat pejabat publik. BUKAN membubarkan partainya secara organisasional.
  • Menghapuskan sistem seleksi dan rekrutmen pejabat publik yang bersifat sirkular. Misalkan Komisioner KPK dimajukan kandidatnya oleh Presiden untuk kemudian dipilih DPR dan sejenisnya. Setiap jabatan publik harus dibuka kepada seluruh masyarakat yang memenuhi syarat jabatan khususnya terkait kemampuan teknis bidangnya.
  • Jika memungkinkan secara teknologi dan biaya maka segala jabatan publik harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu dan seluruh yang mengajukan diri menjadi kandidatnya. Jika belum memungkinkan maka terpaksa harus ditempuh mekanisme seleksi awal terlebih dulu yang dilakukan oleh Tim Independen yang mencerminkan raihan intelektualitas bangsa terkini.
  • Jika pun terpaksa harus dipilih oleh DPR (yang dalam skema DTP disebut dengan Kongres Rakyat Indonesia, MPR dan DPD dihapuskan karena KRI telah mengakomodasi reason d’etre serta maksud dan tujuan dibentuknya DPR-MPR-DPD) maka harus diikuti oleh SELURUH ANGGOTA Kongres Rakyat Indonesia seluruh tingkatan. TIDAK BOLEH hanya pusat saja karena terlalu sedikit untuk dibeli. INGAT KASUS MIRANDA GOELTOM…!
  • DTP bukan tentang Calon Independen disamping calon dari Partai secara formal TETAPI tentang SELURUH CALON ADALAH INDEPENDEN.
  • Negara memberikan fasilitas yang setara kepada seluruh kandidat sehingga menghapuskan motif investasi dan dagang jabatan.
  • Kekuasaaan Penuntut Umum harus dilepaskan dari kekuasaan pemerintahan. Kejaksaan harus bersifat mandiri.
  • Dibentuk Mahkamah dan Kejaksaan Yudisial untuk memproses aparatur hukum yang melanggar hukum. Serta saling silang kewenangan sehingga tak ada istilah Badan Kehormatan internal lagi.
  • Khusus pemilihan Panglima TNI maka kandidat adalah seluruh perwira berpangkat Jenderal dan atau Letnan Jenderal. Sehingga tak ada lagi urusan politik jabatan dalam tubuh TNI namun semuanya berlomba-lomba meraih prestasi agar dapat berpangkat Jenderal atau Letjen dan yang setara. Pergiliran angkatan adalah kurang bagus karena menghilangkan kesempatan bagi pribadi-pribadi hebat jika bukan giliran angkatannya. Biarlah rakyat melalui seluruh anggota Kongres Rakyat Indonesia yang menentukan perwira tinggi mana yang akan menjabat sebagai Panglima TNI.
  • Mekanisme kontrol adalah dari segala arah: vertikal – horisontal – rakyat. Tidak ada jabatan yang tidak dalam kontrol. In God We Trust, The Others Must be Controlled…!

Meng-independen-kan Kejaksaan…!

Secara hukum jelas bahwa Presiden adalah pembentuk hukum bersama-sama dengan DPR RI. Dan pada saat yang sama memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum melalui kepolisian dan kejaksaan yang jelas-jelas berada dalam lingkup kekuasaan pemerintahan di bawah Presiden.

Menyatunya dua fungsi hukum di satu lembaga berisiko menimbulkan suatu konflik kepentingan. Karena seringkali tersangka / terdakwa adalah orang dekat dan atau bawahan Presiden sendiri. Semakin banyak bawahan Presiden yang tersandung perkara maka hal ini menunjukkan kinerja pemerintahan yang tidak bagus. Di sisi lain penegakan hukum harus tidak pandang bulu.

Oleh karena itu -disamping argumen lainnya- dipandang perlu oleh Demokrasi Tanpa [kuasa formal] Partai untuk menjadikan kejaksaan sebagai sebuah lembaga negara yang independen. Jaksa sebagai penuntut umum haruslah bersifat independen dan bebas dari konflik kepentingan politik dan lain-lain. Karena hukum harus ditegakkan tanpa memandang bulu!

Pemerintahan [Presiden] masih memiliki kepolisian sebagai alat pemerintah dalam menjaga keamanan dan melakukan tugas-tugas sebagaimana selama ini. Toh, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan masih diberikan hak untuk memberikan grasi, amnesti dan abolisi sebagai bentuk intervensi yang dimungkinkan setelah adanya putusan pengadilan. Hak ini adalah dengan mempertimbangkan sebesar-besarnya kepentingan nasional.

Sebagaimana lembaga negara lainnya yang bersifat independen maka pejabat kejaksaan versi Demokrasi Tanpa Partai pun terbuka bagi rakyat yang memenuhi syarat tertentu untuk maju sebagai kandidat Jaksa Agung dan atau Jaksa Agung Muda. Tidak boleh lagi menggunakan mekanisme lama yang sarat dengan benturan kepentingan. Kandidat diseleksi oleh sebuah Tim Uji Independen yang mencerminkan raihan intelektual bangsa terkini yang akan dijelaskan di artikel lain tentang Tim Uji Independen. [Pada dasarnya sesuai kaidah Daulat Rakyat Sepenuhnya adalah seluruh yang mencalonkan diri harus diolehkan maju dalam pemilihan tetapi karena secara teknologi, biaya dan kepraktisan belum memungkinkan maka terpaksa diadakan seleksi awal sebelum eleksi umum.]

Untuk kemudian dipilih dengan suara terbanyak oleh Anggota Kongres Rakyat Indonesia (pengganti DPR versi DTP) seluruh tingkatan. TIDAK BOLEH HANYA TINGKAT PUSAT SAJA karena menjadi terlalu sedikit sehingga dapat berharga murah untuk dibeli. Jika seluruh anggota seluruh tingkatan maka menjadi lebih mustahil untuk dibeli sebagaimana kasus Miranda Goeltom bisa dihindarkan sedari awal.

Dan pada dasarnya hal serupa diperlukan untuk mereformasi Mahkamah Agung dari pimpinannya. Pemilihan pimpinan yang independen dan mengikuti prosedur terbuka dapat menjadi awalan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Dan tentunya juga dibutuhkan Mahkamah Yudisial yang berwenang mengadili aparatur hukum yang tersangkut perkara hukum. Saling kontrol dan awas-mengawasi. In God We Trust, The Others Must be Controlled! Soal Mahkamah Yudisial ini telah dijelaskan dalam pasal-pasal konstitusi versi DTP dan akan diuraikan dalam artikel singkat pada saatnya.

DEMOKRASI TANPA PARTAI BUKAN GERAKAN MEMBUBARKAN PARTAI…!

kembalikan kedaulatan rakyat,
jangan bajak demokrasi (Hariman Siregar, 2008)

“Pemilihan presiden secara langsung sudah ok. Tapi karena calon harus dari partai, maka hanya para maling saja yang bisa tampil. Untuk tampil harus punya uang. Jadi negeri ini sudah dikuasai para maling. Rakyat harus bersatu mengubah sistem demokrasi maling seperti ini,” kata Jeffry Winter dalam diskusi perubahan bertema Pengadilan Hosni Mubarak; Pelajaran bagi Indonesia yang diselenggarakan Rumah Perubahan, di Duta Merlin, Jakarta Pusat (Selasa, 9/8/2011).

Padahal demokrasi pada dasarnya hendak menjadikan rakyat sebagai sumber kuasa sekaligus subjek kuasa dalam lingkup wilayah politik tertentu. Maka keterwakilan rakyat adalah salah satu prinsip dasar demokrasi dan itu artinya adanya partisipasi publik dalam segenap urusan publik. Salah satu bentuknya adalah memilih dan dipilih. Mengenai memilih maka praktis tidak ada masalah namun mengenai dipilih masihlah ada permasalahan mendasar yaitu 1>masalah prosedural , 2>masalah konstituen-wakil, dan 3>masalah kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat.

Permasalahan prosedural formal dalam partisipasi untuk dipilih adalah UUD 1945 BAB III Pasal 6A Ayat 3: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal inilah yang dimaksudkan oleh Prof. Jeffry Winter di atas. Hanya partai yang memiliki kekuasaan formal menurut konstitusi yang dapat memajukan kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Kekuasaan yang akhirnya dilaksanakan menurut asas musyawarah mufakat para pedagang sapi. Sic!

Dalam pemilihan parlemen pun setali tiga uang. UUD 1945 BAB VIIB Pasal 22E Ayat 3: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Partai-lah yang memiliki kuasa formal untuk mengajukan kandidat dalam pemilu parlemen. Tidak ada jalan lain. Jika pun nantinya dibuka jalur independen maka sesungguhnya tak lebih dari politik balon kempes dan gula-gula. Jika jalur independen dibuka namun tidak diikuti perubahan mekanisme pemilu maka sama saja. Bagaimana independen bisa memenangkan pertempuran yang tidak seimbang? Tidak on the same level of playing field. Mesin partai, duit, organisasi dan kepentingan kerakusan yang berjalin berkelindan. Bahkan bisa pula muncul manipulasi seolah calon independen padahal aslinya tidak lebih dari monyet suruhan.

Satu-satunya solusi tersisa adalah hanya dan hanya jika seluruh calon adalah independen dan tidak sekadar adanya calon independen disamping calon terjajah-partai. Dan wajib ditambahkan pula ketentuan perihal on the same level of playing field sehingga tak ada seorangpun terpilih karena memiliki uang lebih banyak dari kandidat lainnya. Dan pula wajib sistem distrik –the winner take all- sehingga jelas kontituen di wilayah mana diwakili oleh siapa.

Dengan demikian semoga tidak ada lagi kesalahpahaman bahwa Demokrasi Tanpa Partai berniat membubarkan partai. TIDAK! Karena berpartai adalah termasuk prinsip dasar demokrasi yang harus dijaga: kebebasan berserikat dan berkumpul. Tetapi semata-mata berjuang menghapuskan kuasa formal partai dalam menentukan kandidat dalam seluruh pemilihan pejabat publik tidak hanya presiden dan parlemen.

Dengan dicabutnya kuasa formal partai dalam menetapkan kandidat jabatan publik maka diharapkan partai dapat kembali menjalankan fungsi idealnya dalam kaderisasi dan bukan malah menjadi mafia atau negara dalam negara.

Salam Merdeka…!

http://antipartai.net/manifesto-gerakan

Air, Bumi dan Kekayaan Alam di dalamnya….

Membacai pengelolaan kekayaan alam Indonesia ini mengapa berasa ruwetnya… Saham negara-lah, KKS-lah, cost recovery-lah, pembelian saham divestasi-lah. Gak tahu mengapa sedemikian ruwetnya. Dan rakyat tak pernah dapat apapun secara nyata. Itu saja faktanya.

Mengapa tidak dibuat lebih sederhana misalnya:

1. Negara mengkapling2 wilayah yang ada kandungan kekayaan bumi di dalamnya. Membebaskan tanahnya.

2. Setelah wilayah tambang eksploratif bebaskan lahannya maka negara melelangnya secara fair meski affirmative action pengistimewaan untuk perusahaan milik negara serta perusahaan swasta nasional harus jelas. Ada juga wilayah2 kecil untuk perusahaan lebih kecil dan menengah. Swasta nasional / asing berani bayar berapa untuk mengekplorasi wilayah yang telah dibebaskan negara.

3. Jadi negara langsung dapat duit dari lelang hak pengelolaan. Selain dari bagian hasil di masa produksinya. Jangan dari nett profit karena tracing-nya lebih rumit. Profit adalah mudah dimaenkan besarannya. Cash not profit is king! Juga jangan cost recovery, ngapain negara ngurusin manajemen perusahaan. Mau nyari peluang nilep duit juga?

4. Bagian negara adalah dari REVENUE (ekstraktif): 30% untuk pusat, 5% untuk reklamasi lingkungan hidup selama dan pasca pengerukan yang dikelola oleh lembaga tersendiri (bukan perusahaan dimaksud), 1% untuk dibagikan langsung pada penduduk di kabupaten operasi [pemilik lahan sebelumnya mendapatkan nilai yang lebih meski telah dibeli tanahnya], 2% pemda kabupaten, 2% pemda propinsi, 5% dibagikan pada seluruh rakyat Indonesia (termasuk yang sudah dapat 1% di atas), 5% dibagikan pada pemda kabupaten dan propinsi seluruh Indonesia secara sama rata. *ANGKA-ANGKA SEKADAR ILUSTRASI, untuk angka definitif memerlukan kajian struktur biaya dan lain2 faktor secara lebih mendalam.

5. Oleh karena itu perusahaan dapat dibebaskan dari segala pajak2 karena bagian publik 50% dari revenue adalah sudah cukup. Perusahaan harus mengefisiensikan operasionalnya sendiri. Dan tetap 20% dari profit perusahaan besar adalah hak pekerja. Selebihnya hak pemilik kapital. Bagian negara itulah yang bisa digunakan (secara obligatory) untuk keperluan dalam negeri sedangkan bagian perusahaan maka terserah perusahaan saja mau menjual kemana.

Perusahaan2 penyedot air tanah pun harus lebih jelas lagi urusannya dengan negara dan seluruh rakyat. Urusan penyedot air tanah masih memerlukan data2 lebih lanjut sebelum dapat merumuskan bagaimana negara seharusnya mengelola kekayaan rakyat.

*****00*****

20% Profit Perusahaan Besar adalah Hak Pekerja…!

UMR adalah upaya perlindungan terhadap buruh / pekerja atas upah minimum yang menjadi haknya atas sejumlah kerja / waktu yang diberikannya untuk aktivitas perusahaan. Gerakan sosialist / marxist / kiri dalam sejarahnya selalu memperjuangkan kepemilikan faktor produksi oleh pekerja / buruh melalui tegaknya diktaktur proletariat. Sebuah konsep yang telah terbukti tidak bisa berjalan karena tidak sesuai dengan dorongan jiwa manusia yang beragam.

Adalah fakta, hanya kelas/jiwa entrepreneur yang akhirnya memiliki kemampuan untuk mengorganisasi segala sumber daya yang diperlukan untuk berjalannya roda sebuah usaha. Kelas buruh secara umum tidak memiliki kemampuan untuk itu. Oleh karena itu konsep kepemilikan / manajemen perusahaan oleh buruh / karyawan adalah tidak sesuai dengan realitas keragaman manusia.

Mari kita letakkan masalah pada tempatnya. Inti dari semua perjuangan itu adalah “agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang2 kaya saja”. Maka sudahlah jelas bahwa negara harus mengaturnya sedemikian rupa sehingga segala masalah berada pada tempatnya.

Nah, upah adalah hak setiap yang bekerja. UMR ditetapkan adalah dalam rangka memberikan perlindungan agar pekerja/buruh tidak dieksploitasi karena terpaksa harus bekerja. Jelas ada konflik kepentingan antara manajemen/pemilik dan pekerja. Pemilik / manajemen ingin upah semurah2nya untuk cost terkecil sehingga profit membesar. Dan buruh / pekerja tidak punya urusan terhadap profit. Buruh hanya peduli pada pemenuhan hak atas upah saat ini dan disini.

Bagian atas hasil kerja sepenuhnya menjadi milik pengusaha sepenuhnya. Dengan demikian buruh/pekerja ditempatkan dalam paradgma sebagai faktor produksi semata. Memanusiakan manusia adalah tuntutan rasa keadilan yang harus dipenuhi. Dengan demikian harus ada bagian dari hasil produksi untuk buruh/pekerja. 1>Memanusiakan buruh karena bagian atas hasil produksi melepaskan buruh dari menjadi sekadar alat produksi yang tidak memiliki hak atas hasil produksi, 2>Memanusiakan pengusaha agar tidak lagi memandang buruh sebagai alat/faktor produksi semata, 3>Agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja, 4>Pemerataannya kekayaan secara berkeadilan justru semakin meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan lebih lanjut.

Angka 20% nett profit sebagai bagian buruh yang dibagikan secara sama rata adalah angka yang cukup untuk mencapai tujuan tersebut di atas dan masih menjaga semangat kewiraswastaan masyarakat.

Jaminan Kesehatan dan dana pensiun? Pada dasarnya adalah menjadi tugas negara untuk memberikan jaminan sosial dan kesehatan serta pensiun bagi seluruh warganya. Yang SALAH SATU sumber uangnya adalah dari pajak perusahaan, pajak penghasilan perusahaan dan pekerja serta pungutan sah lainnya. Jaminan ini adalah atas warga negara dan bukan hanya atas pekerja swasta atau PNS saja. Tetapi jaminan bagi setiap warga negara. Dengan demikian jaminan dan fasilitas dari perusahaan seharusnya adalah dalam kerangka persaingan antar perusahaan untuk menarik SDM yang berkualitas. Bukan kewajiban perusahaan tetapi KEWAJIBAN NEGARA…!

*****00*****